Jumat, 02 Maret 2012

Menganyam Kebahagiaan

Dua tahun semenjak kepergian ibunya Leon hidup menggelandang. Nyaris setiap hari mulai gelap ia sibuk mencari “hotel” tempat beristirahat setelah seharian mengamen di jalanan. Trotoar, bangku taman kota, hingga pelataran mesjid besar pernah ia tempati, itu pun harus kucing-kucingan terlebih dahulu dengan polisi pamong praja. Kadang kala tidak hanya polisi pamong praja saja “teman” main kucing-kucingannya Leon, satpam departemen store, preman bertato, hingga om-om senang berorientasi menyimpang pun dengan terpaksa harus ia “layani”.

Kejayaan ayah Leon seketika pudar saat ia dijatuhi hukuman 5 tahun penjara oleh hakim atas tuduhan korupsi pengadaan sarana kantor. Segala yang dulu ia punya kini bukan miliknya lagi, termasuk keluarga. Aib katanya memiliki keluarga seorang koruptor. Maka tinggalah Leon dengan ibunya berdua hidup di bedeng, mengais rezeki dengan segala yang mereka mampu. Ibu Leon berjualan nasi uduk di depan rumah, sementara Leon harus berhenti dari sekolah RSBI nya berpindah ke MTS tak jauh dari kontrakan. Sepulang sekolah ia pergi ke pusat kota menenteng gitar peninggalan kakaknya yang hilang ketika sedang mendaki Mahameru.



Leon sangat terpukul ketika pulang mengamen ia menemukan ibunya terbujur kaku dalam sujudnya dikamar. Leon meraung, memuntahkan amarahnya pada Ilahi, mempertanyakan semua kemalangan yang menimpanya, mempertanyakan keberadaan Tuhannya. Berhari-hari ia tidak masuk sekolah, berhari-hari pula ia tidak pulang ke kontrakannya, berjalan, berlari, menjauh, menghindar, hingga sampailah ia di kota ini, kota yang dulu ia tinggalkan, kota yang ia cintai, kota kelahirannya.

Sadar akan bumi yang terus berputar Leon pun kini tak mau lagi tenggelam dalam kesedihannya. Kesedihan tak bisa membuat perutnya kenyang. Ia pun melakukan apa yang ia bisa untuk bertahan hidup di Bandung. Ngamen, kuli angkut, ojek payung, apapun yang ia mampu asalkan tidak mengemis. Ia kini sudah tak lagi nomaden, sebuah kamar kecil tepat dibelakang masjid tak terurus di pinggiran kota menjadi tempat bernaungnya. Pengurus masjid terdahulu membiarkanya tinggal disitu selama ia mau membersihkan masjid tiap harinya. Orang-orang sekitar tak ada yang mau peduli dengan masjid, dengan dirinya, yang mereka pedulikan hanyalah diri sendiri. Bagi Leon itulah salah satu jalan untuk berbaikan dengan Tuhan yang sempat ia tinggalkan. Tak jarang ia menangis dalam sujudnya memohon ampun, meminta kekuatan, berterima kasih.

Dua tahun sudah ia lewati, bulan depan ia genap 15 tahun. Saat anak-anak seusianya berenang-renang dalam kolam warna-warni kehidupan sekolah menengah, Leon berjuang dalam setiap detiknya untuk tetap hidup. Ada kalanya iri melihat anak-anak seusianya bercengkrama, bercanda tawa menhabiskan uang orang tuanya. Sementara ia mengais-ngais rezeki, memeras keringat, mengacuhkan lelahnya hanya untuk mengisi periuknya. Ia pun hanya bisa berdoa, meminta agar Tuhan membuat nya tegar, menjaga dirinya, menjaga pelitanya agar tak akan pernah padam. Ia teringat kalimat seorang penulis idolanya yang berujar, hanya mimpilah yang membuat manusia tetap hidup. Manusia yang tidak memiliki hanyalah seonggok daging yang tanpa jiwa, tak lebih sekedar zombie. Maka dinding kamar Leon yang kusam pun menjadi kanvas mimpinya. Ia guratkan berbagai macam keinginannya di dinding tersebut. Dinding yang pada awalnya ia sebut dengan the wall of shame. Dinding ratapan yang berisi segala keluh kesahnya, yang membuat hatinya mencelos setiap kali melihat nya, membuatnya tidak pernah tertidur nyenyak. Dinding itu kini sudah ditutupi oleh gambar-gambar mobil, rumah, seniman, poster film hingga potongan kertas-kertas beisikan lirik lagu, puisi, serta daftar keinginannya. Wonderwall kini ia menyebutnya.

Hari itu Bandung menggelar hajatan tahunannya, sebuah festival rutin yang sudah menjadi ritual bagi kota yang dianggap sebagai salah satu kota terkreatif di dunia. Braga Festival. Ajang yang bertujuan menghidupkan jalan Braga dengan segala keunikan dan sejarahnya sebagai heritage sekaligus destinasi wisatawan. Maka berkumpullah para pelaku seni yang unjuk kebolehan disana, pagelaran musik, pameran fotografi, produk-produk industri kreatif, fashion, hingga kuliner. Pelaku dan penikmat seni berkumpul disana, tua-muda, segala rupa, tumpah ruah, gratis. Tentunya momen ini jadi peluang untuk siapapun yang ingin unjuk kebolehan, tak terkecuali Leon.

Tidak semua orang memang bisa tampil di acara tersebut, Leon pun sadar betul akan hal itu. Maka yang ia lakukan hanyalah membawa gitar akustiknya dan bernyanyi, mengamen. Hanya kali itu ia berpikir bahwa ia harus tampil beda agar dapat menarik perhatian banyak orang. Bukan hanya sekedar mengamen untuk mencari uang receh, tapi ia berpikir untuk bernyanyi, benar-benar bernyanyi, sebuah seni pertunjukan pikirnya. Maka mulailah ia bernyanyi. Come Together milik The Beatles pun meluncur, menghentak. Tak banyak orang yang memperhatikan, Leon tak acuh, ia tetap memainkan gitar dan bernyanyi sepenuh hatinya. Jari-jarinya bergerak lincah memainkan chord gitar. Ketika Leon mengakhiri lagunya terdengar beberapa suara tepukan tangan, ada diantaranya juga yang melemparkan uang receh maupun lembaran. Senyuman terkembang di wajah anak muda itu. Tak lama berselang ia pun memainkan lagu keduanya, Kasih Tak Sampai dari Padi menjadi pilihannya. Penampilannya begitu sederhana, hanya petikan gitar yang mendayu dan lenguhan falsetto suara Leon lah bumbu dari penampilannya. Tak disangka banyak orang terpukau melihat penampilannya. Satu kuncinya adalah ia menambahkan emosi dalam lagu tersebut. Ia bernyanyi seperti berbicara, seperti orang yang sedang mencurahkan isi hatinya, sedang curhat. Dan perasaannya sukses menyentuh empati pendengarnya.

Orang-orang yang mengerumuni nya semakin banyak, membuat nya gugup. Namun pengalaman hidup dijalanan menguatkannya, masalah-masalah yang dihadapinya selama ini telah mendewasakannya. Ia pun kembali fokus pada penampilannya. Kali ini ia membawakan Everybody Hurts milik REM dengan begitu emosional hingga nyaris tak terkontrol karena ia begitu meresapi liriknya. Layaknya orang yang sedang trance.

When your day is long and the night
The night is yours alone
When you're sure you've had enough of this life, well hang on
Don't let yourself go
Everybody cries and everybody hurts sometimes

Sometimes everything is wrong
Now it's time to sing along
When your day is night alone (hold on, hold on)
If you feel like letting go (hold on)
When you think you've had too much of this life, well hang on

Everybody hurts
Take comfort in your friends.
Everybody hurts
Don't throw your hand. Oh, no
Don't throw your hand
If you feel like you're alone, no, no, no, you are not alone

If you're on your own in this life
The days and nights are long
When you think you've had too much of this life to hang on

Well, everybody hurts sometimes
Everybody cries


Suatu kejadian dapat merubah segalanya. Seseorang bisa dengan cepatnya meroket ke puncak, namun sepersekian detik bisa kembali terjatuh. Seperti kejadian yang menimpa ayahnya. Ketika tengah bernyanyi dan mendapat sambutan yang hangat dari penonton, walau hanya dibayar dengan uang recehan, walaupun ada juga yang hanya sekedar diam memperhatikan, rasanya sudah cukup bagi Leon. Ketika bernyanyi ia merasa tidak sendirian lagi, dunia tidak lagi menantangnya namun bersahabat dengan nya. Namun itu ia rasakan singkat, sebelum senar gitarnya putus dan melukai jarinya. “Ya Tuhan apa lagi ini? Tidakkah Kau ijin aku untuk setidaknya menghibur mereka satu atau dua lagu lagi? Apakah Engkau tidak senang dengan nyanyianku, dengan suara ku? Apakah Kau ingin aku mengutuki Mu lagi Tuhan?” Ancamnya dalam hati.

Orang-orang sudah tak lagi ada disana mereka menyebar mencari tontonan lain yang lebih menarik dari pada seorang ABG yang bernyanyi dengan tangan terluka dan gitar yang tak lengkap senarnya. Tissue toilet, piker Leon dalam hati. Nasibnya tak ubah seperti tissue toilet yang dibuang ke tempat sampah setelah habis gunanya. Sendiri, kotor, membusuk. Dengan langkah yang berat Leon pun meninggalkan hingar bingar festival tersebut, menuju sudut kota Bandung yang gelap. Langkahnya terhenti akibat tepukan seseorang di pundaknya. Seorang pria bertubuh kurus dan tinggi, rambut panjang nya terikat kebelakang, pakaiannya casual serba ketat. “Ngaran maneh saha jang?” (nama kamu siapa) pria itu bertanya. “Leon A”, “Oh, boga lagu sorangan?” (punya lagu sendiri) Tanya pria itu lagi. “Punya A, tadinya mau dibawaain tapi keburu gitarnya putus” jawab Leon sambil menunduk memandangi sepasang sepatu nya yang robek dimana-mana. “Ya udah, kalau ada waktu saya pengen denger lagu kamu, nih dating aja ke sini” ujarnya seraya menyerahkan sebuah kartu nama dan kemudian berlalu. Leon tidak menyedari kalau pria itu adalah frontman dari sebuah grup indie asal kota Bandung yang sudah diakui di mancanegara. Seorang vokalis dari sebuah grup yang sarat prestasi, yang berani menabrak pakem-pakem industri musik dalam negeri, melawan arus mainstream, membawa gelombang revolusi industri musik dari bawah tanah. Leon pun menjadi kebingungan dengan kejadian tersebut, yang tertulis dalam kartu nama hanya nama sebuah studio musik yang berada dikawasan elit kota Bandung. Pikirannya berkecamuk, lantas apakah selembar kartu nama ini jawaban Tuhan atas setiap pertanyaan-pertanyaannya, setiap tuntutan-tuntutannya, setiap doa dalam sujudnya? Apakah ini akan jadi babak baru bagi kehidupannya? Ataukah hanya sabuah babak lain dari cerita pilunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar