Angkot yang ku tumpangi hari itu tidak terisi penuh menyebabkan sang supir mengendarainya dengan lambat, seorang anak SMK yang duduk disebelah ku tengah asik melihat-lihat wall facebook yang tak lama kemudian lantas beralih menuju timeline twitter lewat blackberry curve nya, stereotype anak muda masa kini. Tepat di depan ku seorang wanita muda yang kira-kira seusia dengan ku sibuk BBM-an munkin dengan pacarnya, selingkuhannya, atau bosnya atau mungkin dengan bos yang tak lain selingkuhannya, bukan urusan ku. Di kursi paling depan ada sepasang pria paruh baya yang terlibat percakapan tampak mesra eh serius, bisnis tampaknya. Dan aku seperti biasanya memasang earphone lantas memutar lagu lewat HP ku. Ku cari-cari lagu yang ingin aku dengarkan hari itu dalam playlist album koleksi yang tersedia. Lagu yang cocok dengan suasana hati ku saat itu. Akhirnya kuputuskan untuk memutar sebuah lagu dari album 21 nya Adele.
“I don’t know why I’m scared,
I’ve been here before,
every feeling every words,
I’ve imagine it all,
you'll never know if you never try
to forget your past and simply be mine…”
-One and only/Adele
Pandangan ku pun menerawang ke luar lewat kaca angkot. Langit gelap, lampu temaram kota yang kuning, laju kendaraan yang lambat, ditambah dengan lantunan indah suara Adele yang membius membuat ku menarik napas dengan panjang, berat. Ada sebuah kehampaan, kosong yang menyesakkan. Entah apa istilah untuk momen seperti ini, apakah ini yang mereka sebut dengan galau?. Tidak, saya lebih suka menyebutnya gundah.
Heran, kenapa perasaan seperti ini, momen-momen seperti ini kerap kali muncul bukan sekali atau dua kali tapi berkali-kali dengan tingkatan yang ku rasa lain dari yang pernah ku rasakan sebelumnya. Rasanya sudah semenjak sebulan lalu kegundahan ini tak kunjung mereda. Memasuki tahun yang baru ini entah kenapa perasaan gundah seperti ini yang muncul menghebat. Orang lain mungkin tengah sibuk mewujudkan reolusi-resolusi tahun barunya, menata kehidupannya, merajut mimpi, mengukir milestone prestasi. Sedang aku, semuanya berjalan lambat, diluar jangkauan, jauh tak tergapai. Kecemasan muncul meski tidak tahu apa yang dicemaskan, takut walau tak tahu apa yang ditakutkan. Sensitifitas meninggi sementara kenginanan, drive, motivasi menurun. Pekerjaan pun hanya jadi rutinitas yang membosankan, tidak ada tautan hati di dalamnya, hampa, lesu, lunglai.
Bukan, perasaan seperti ini datang bukan karena trend sosial media masa kini. Anak-anak jaman sekarang berpendapat “kalau nggak galau nggak gaul”. Status facebook atau twitt dengan hastag galau berserakan dimana-mana, yang tidak galau pun ikut-ikutan, berantem sama pacar #galau, diputusin #galau, langit mendung #galau, hujan rintik-rintik #galau, MU kalah #galau, kaki kejepit #galau, Ingusan #galau, aneh. Kebanyakan dari mereka yang mengaku galau penyebabnya adalah masalah relationship dengan pacarnya, as simply as that. Menggelikan. Itulah alasan mengapa aku gunakan kata gundah, lebih mature, karena ini bukanlah semata masalah relationship namun jauh lebih kompleks.
Lantas apakah ini adalah fase pendewasaan seseorang? Atau justru tanda keimanan yang tengah melorot?
Perenungan pun dimulai, mencari penyebab dari semua kegeundahan ini. Pertama, relationship. Saat ini aku belum menjalin hubungan dengan siapa pun jadi sangat tidak mungkin jika penyebabnya adalah pasangan. Atau mungkin justru karena kesendirian itu penyebabnya? Toh sudah sejak lama aku sendiri dan baik-baik saja, yah walau kadang suka agak iri ketika melihat orang lain menjemput pasangannya di tempat kerja, atau melihat cowok yang membelikan ceweknya minum, terlihat sangat keren buat ku. Dan yang sedikit males ketika datang ke sebuah undangan pernikahan kerabat seorang diri terus ditanya “kapan nyusul?” emang siapa yang balapan pake nyusul-nyusul segala?. Tapi sekali lagi kalau itu masalahnya kenapa aku enjoy saja saat itu, kenapa sekarang?
Kedua, pekerjaan. Saat ini aku bekerja di 3 tempat yang berbeda, profesi ku memang memungkinkan untuk itu. Otomatis penghasilan juga alhamdulillah bertambah, walau memang lebih melelahkan karena harus kesana kemari, menyesuaikan jarak dan waktu tempuh, administrasi yang bertambah serta keharusan menghadapi orang-orang yang beragam karakteristiknya, sebuah tantangan. Lantas apakah karena itu masalahnya? Lah bukannya ini yang aku mau? Kadang memang kejenuhan datang, tak jarang pula aku protes, kenapa sih profesi ku yang katanya mulia ini dihargai dengan murah? Kenapa justru mereka yang –maaf- pendidikannya lebih rendah namun pendapatannya lebih tinggi dari ku, mereka yang prilakunya rendah justru dengan mudahnya mendapat pekerjaan yang bagus serta posisi yang lebih tinggi, adil kah?. Apakah harus seperti ini terus seumur hidup? Mungkin kalau hanya untuk hidup sendiri penghasilan seperti ini cukup, tapi bagaimana jika nanti aku sudah berkeluarga? Bagaimana jika nanti sudah punya anak istri? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap datang, tapi berlalu dengan sendirinya dan hari-hari saya pun normal kembali. Tapi ada apa ini? Kenapa sekarang?
Ketiga, rumah, keluarga. Walaupun rumah ku -maaf- rumah ibu ku dimana aku ikut numpang tinggal didalamnya nyaris roboh, dan kalau setiap hujan deras pasti tercipta air terjun Niagara dari atap di hampir setiap ruangan yang ada, tapi kau tahu, aku masih bisa tidur nyenyak. Walaupun ada yang teriak-teriak meracau dari belakang pun aku masih bisa makan enak, sobat. Dan walaupun seandainya hak-hak kami direbut oleh apa yang disebut “saudara” sekalipun aku masih bisa move on. Tapi kenapa akahir-akahir ini aku jadi semakin pendiam?
“Sabaraha umur maneh?” (berapa umur kamu) kata salah seorang teman kerja ku yang biasa kutumpangi motornya saat pulang kerja. “26” jawab ku datar. “oh pantes atuh” timpalnya simple. Menurutnya pria berusia kisaran 25-26 kebanyakan mengalami fase seperti ini, ia pun mengalaminya dulu, perasaan yang tepat seperti apa yang sedang ku rasakan. Menurutnya lagi nanti ketika beranjak 27-28 maka keinginan untuk menikah akan sangat-sangat besar diakibatkan oleh hormonal yang meronta. “Normal lur, percaya we ka Alloh” katanya lagi. Pendewasaan menurutnya. Menurut ku dari apa yang ku baca mungkin ini yang disebut dengan a quarter-half crisis.
Versi syariah mengatakan kalau galau, maaf gundah, menandakan keimanan kita sedang rendah. Fasis kanan yang lebih ekstrim mengakatan bahwa ini adalah gejala-gejala atheis karena bisa menyebabkan seseorang tidak percaya akan kuasa Tuhan. Tidak dapat ku pungkiri bahwa memang kadangkala kita tenggelam begitu dalam kedalam lamunan yang membuat cemas, gelisah, takut. Layaknya seorang yang tidak percaya ada kekuatan lain diluar dirinya yang begitu kuasa untuk mengangkatnya keluar, menariknya, membebaskannya. Itulah yang mereka sebut “gejala awal”. “Keimanan itu naik turun bahkan bisa menghilang” kalimat itu melintas cepat dalam benak. Kalimat yang aku dapat dari pengajian bulan lalu, dari seorang ustadz sekaligus rekan kerja yang juga cukup sering memberi nasehat walau kadang beberapa diantaranya jarang aku lakukan oleh karena begitu kerasnya kepala ini. Terkadng perspektif dan filosofi kita pun berbeda beliau pendukung MU sementara aku Liverpudlian. Namun sudah pasti kami berdua menyembah Tuhan yang sama.
Angkot yang kutumpangi pun menepi, sebelum turun ke luar angkot, pandangan ku menyapu seisi angkot tersebut. Pemandangan yang berbeda, orang-orang yang berbeda pula, tidak ada lagi anak SMK yang sedang asik nge-twit, wanita karir yang selingkuh, atau pasangan g*y yang sedang bisnis. Semuanya sudah berganti, berubah, setiap orang datang dan pergi. Begitu juga dengan hidup kita, semuanya tidak akan pernah sama. Kita ini adalah penumpang-Nya, Ia lah yang mengendalikan, menentukan arah menetapkan tujuan. Saat ini mungkin keimanan milik ku sedang turun namun aku tidak mau jika sampai kehilangannya. Maka biarlah ku nikmati segala kegundahan ini dengan indah, dengan tetap mengingat-Nya sebagai tangan penolong ku jika aku menyelam terlalu dalam dan kehabisan napas.
“Murung itu sungguh indah
Melambatkan butir darah
Nikmatilah saja kegundahan ini,
Segala denyutnya yang merobek sepi,
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati”
-Melancholia/Efek Rumah Kaca-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar