Lomba Ajang Kreatifitas (LAK) nama acaranya, itu pun kalau aku tak salah ingat. Sebuah acara tahunan di sekolah ku yang sangat-sangat aku tunggu, yang akan kujadikan sebagai titik dimana akhirnya aku menjadi “terlihat”. Teman-teman ku akan sadar dengan kehadiran ku diantara mereka, sadar sepenuhnya tidak hanya ketika ulangan harian bahasa inggris saja, atau ketika pelajaran olah raga dimana aku jadi bahan lawakan guru olah raga yang kusayangi itu.
Ada sebuah hukum baku di dunia persekolahan, SMA tepatnya, mereka yang populer, yang “terlihat” adalah mereka yang memiliki wajah super cute/super hot, memiliki orang tua yang kaya raya, jago olah raga, jenius dalam akademik, prestatif atau bahkan kombinasi kesemuanya. Ada juga yang “terlihat” karena punya banyak masalah, atau bahkan pembuat masalah. Semacam centeng sekolah, tukang palak apapun lah itu. Dan kasta yang terendah adalah mereka yang benar-benar jelek dalam artian apapun, yang mudah di bully, yang selalu gagal dalam semua hal. Loser.
Aku menempatkan diriku sendiri pada kasta yang menengah, kasta yang biasa saja, yang kadang terlihat kadang tidak, tampak goib sepertinya. Itu opini ku sendiri, standar ku sendiri. Aku biasa saja, tidak punya special ability, tak juga kaya, aku payah di olah raga, tapi aku merasa jiwa seni ku tinggi. Aku buruk dalam matematika, namun kemampuan bahasa ku diatas rata-rata. Setidaknya itulah penilaian ku sendiri, entahlah orang menilai, sebenarnya mungkin aku termasuk kasta yang terendah, loser.
Tapi momen kebangkitan ku sebentar lagi tiba, yah LAK itu dia. Berbekal sedikit kemampuan bermain alat music yang sudah ku asah sejak SMP dulu maka dengan pede nya aku bergabung dalam sebuah band sekolah. Itupun kebetulan diajak sama teman sekelas yang kebetulan lagi dulu satu SMP dan pernah berlatih bareng, ngejam istilahnya. Dengan sedikit jual mahal aku mengiyakan ajakannya, padahal dalam hati ingin sekali, menggebu malah.
Terbentuklah sebuah band dadakan, namanya apa yah? Lupa. Karena kami waktu itu sudah sangat yakin dengan kemampuan individu masing-masing jadi kami tak banyak berlatih. Kami berlatih hanya satu jam menjelang audisi. Ini antara percaya diri atau belagu ternyata beda tipis. Di studio kami mencoba berlatih lagu-lagu yang sudah kami hapal betul sebelumnya, kebanyakan lagu-lagu band-band terkenal pada jamannya, U2, Radiohead, dan The Cure waktu itu. Kami pun memilih lagu Creep dari Radiohead untuk dibawakan ketika audisi nanti sore, paling mudah pikir kami. Dan kami salah, karena ternyata kami gagal audisi.!!!
“Atuh ci please lah bisa yah kita maen, terakhir juga ga apa-apa lah..please..”
Bujuk teman ku si Acol dengan sedikit memaksa pada Uci yang kebetulan ketua OSIS sekaligus ketua panitia acara tersebut..
“Da ini mah bukan band kelas ci band dari luar aku sama si Opay sama ada satu lagi temen ci yah.boleh yah.itung-itung bintang tamu gratis lah yah..!”
Edan aku salut sama si Acol, dia tipe orang yang kalau sudah ingin sesuatu pasti sekuat tenaga ia usahakan supaya dapat. Gagal audisi sama band kelas, band sendiri dia promosikan, mana pengen jadi headliner lagi..! aku sih cuman diam malah sok ga peduli, malu juga liat si Acol nguntit si Uci kemana-mana sambil rengek-rengek pengen manggung, padahal sih sumpah dalam hati ngarep juga!
“Yaudah lah tapi kalau ada waktu itu juga yah, abis maghrib” kata Uci agak jengkel.
“Lah kan acaranya cuman sampai maghrib Ci..?”
“Ya entar aku usahain ngomong ke wakasek lah”
“arhgghh..makasih Uci…” teriaknya sambil hendak meluk Uci yang secara reflek mengepalkan tangan tangannya, artinya “jangan ngarep lu”
“Pay..telepon si Uyan..!” aku pun masih pura-pura tidak dengar, sibuk bolak-balik buku puisi Aku nya Chairil Anwar maklum waktu itu lagi musim AADC.
Kami hanya bertiga, dulu kami satu kelas waktu di SMP, masing-masing pernah punya band yang beda-beda alirannya. Entah bagaimana ceritanya sehingga kami bisa membentuk band ini, yang jelas kami sudah setahun lebih bareng-bareng, kerjanya berlatih tiap minggu, namun tidak pernah sekalipun manggung karena selalu gagal audisi, payah! Hari ini jadi sejarah untuk kami, our first gig.
Uyan datang telat, karena harus mengantar dulu pacarnya ke Ganesha Operation, tempat bimbel ternama di kota Bandung. Ia berbeda sekolah dengan aku dan Acol. Ia istimewa, jenis anak SMA yang memiliki segalanya, tampang, otak, uang, nyaris sempurna. Hanya kadang kalau sudah bego, begonya keterlaluan, leletnya keterlaluan, galaunya keterlaluan.
“kemana si Acol?” Tanya nya.
Aku menyambut pertanyaannya hanya dengan sebuah telunjuk kea rah backstage, tanpa suara, sok cool, masih terpengaruh Rangga, AADC.
Acol yang paling bersemangat diantara kita bertiga, dia men-chek set panggung, sound system, memilih set lagu, dan sebagainya. Ia bertindak layaknya frontman, manager, sekaligus roadies sebuah band papan atas, mengatur ini itu padahal tidak ada yang menyuruhnya. Ia memang punya leadership dan Kharisma yang sama tinggi dengan Uyan, motivasinya saja yang berbeda. Determinasi dank eras kepalanya lebih tinggi.
Acol adalah orang yang paling sering berbeda pendapat dengan ku dalam berbagai hal. Kami pernah berdebat panjang lebar tentang mana yang lebih hebat antara punk dengan ska, coldplay dengan the stroke, del piero dengan totti, segala macam. Tapi walau begitu kami tetap akur, apalagi kalau ulangan matematik dan bahasa inggris kami pasti sangat akur!
Band-band kelas lain yang lolos audisi ternyata bagus-bagus, sifat buruk ku pun muncul, minder. Uyan seolah bisa merasakannya, dari tadi ia melihat saya banyak melamun, sementara teman-teman saya yang lain bersenang-senang disana. Ketika band yang tampil membawakan lagu keras, ara laki-laki membuat circle pit, moshing, pogo, skankin, apapun sebutannya. Pun ketika band yang membawakan lagu top 40 banyk pula cewek-cewek yang ikut menari sambil meneriakan nama teman mereka diatas panggung..
Satu-satunya band dari kelas dua yang menurutku paling ok adalah dari kelas 2-1, kelasnya anak-anak gang motor berkumpul disitu. Tak disangka mereka bisa membuat satu sekolah menari, kelas 1, 2, 3, bahkan alumni serta kulihat ada beberapa orang guru muda yang ikut menikmati music mereka. Spyderweb milik No Doubt menjadi lagu pembukanya dan mereka tutup dengan Common Eileen dari Save Ferris, sukses membuat mereka mendapatkan applause dari seluruh sekolah.
Tekanan besar menghinggapi ku, lihat mereka, mereka lebih hebat! Bagaimana caranya supaya aku bisa menciptakan crowd seperti ini? Apa aku yakin mau melakukan ini? Apakah nantinya malah akan mempermalukan diri sendiri?
Dalam kebimbangan tiba-tiba Uyan menarik tangan ku, membawa ku ke dalam kerumunan orang-orang yang sedang skankin sambil bernyanyi-nayanyi. “music enak jangan disia-siakan pay” katanya. Seseorang menabrak pundak ku dari belakang seolah-olah tidak kenal sambil melayangkan tanda dua jari membentuk huruf v dan masih berjingkrak-jingkrak. Itu Acil yang sedang bersenang-senang. Sesaat aku pun lupa dengan kekhawatiran ku menikmati alunan music bersama orang-orang terdekat adalah sebuah kepuasan yang unik yang membebaskan.
Kumandang adzan Maghrib menggema, matahari sudah pulang membuat langit menjadi gelap. Bintang tamu sudah turun panggung sebelum adzan tadi. Uci menyuruh kami bersiap-siap di belakang panggung yang sudah gelap pula karena tidak dipasangi lampu. “Teman-teman kita sambut Skeptik…!”
Kami menghentak dengan lagu The Rock Show dari Blink 182, lagu yang beresiko karena sebenarnya aku belum menguasai betul bit nya. Tapi ternyata pilihan lagu pertama kami tepat, teman-teman serta penonton lain yang tadinya mau pulang berbalik dan berlarian ke depan panggung. “Siapa yang mean..?” pikir mereka, karena panggung begitu gelap. Pada akhirnya mereka tidak perduli siapa, mereka berjinkrak-jingkrak, menabrak-nabrakan tubuh mereka satu sama lain, sing a long bersama-sama. Siapa yang tidak suka dengan Blink 182 waktu itu. Acol sangat bergairah malam itu, ia melompat-lompat dipanggung, Uyan pun sama. Seseorang memanggil ku dari samping panggung. Itu si Doni teman sebangku ku, yang tiba-tiba naik ke atas panggung dan melompat ke bawah yang lantas di sambut oleh teman-teman ku di bawah, stage dive. Gila. Akibatnya penonton semakin menggila. Aku pun terbawa emosi hingga tak sadar kalau stick drum ku patah.
Puncaknya terjadi ketika kami memainkan lagu All The Small Things, jumlah enonton yang turun semakin banyak, laki-laki dan perempuan, nyaris seisi sekolah kami buat bernyanyi,
All the small things
True care truth brings
I'll take one lift
Your ride best trip
Always I know
You'll be at my show
Watching, waiting, commiserating
Kami pun menutup LAK dengan senyuman diwajah kami bertiga. Aku tak yakin satu sekolah kini sudah “melihat” ku tapi setidaknya teman-teman satu kelas ku tahu kalau aku yang main tadi. Mereka mendatangi ku memberi selamat permainan kami rapi katanya. Mereka yang tidak satu kelas pun kini sebagian tahu, pandangan mereka berubah terhadap ku, pandangan mereka berubah terhadap ku, pandangan penuh keheranan, “masa sih si culun ini yang maen tadi” mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Sementara wakasek kesiswaan dari kantornya memandang kami dengan sinis, siap-siap memuntahkan amarahnya esok pada Uci, Acol, dan aku akibat kegaduhan yang kami buat. Uci ternyata tidak meminta ijin dari wakasek membuat panggung kami illegal, band kami illegal…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar