Minggu, 05 Mei 2013

Perempuan Pengamen

Jadi pagi itu saya berangkat kerja naik angkot lagi. Sebenarnya bisa sih naik damri, tapi saya malas. Sudah nunggunya lama, enggak dapat tempat duduk, desak-desakan pula. Kalau naik angkot kan walaupun suka ngetem dan didedet, tetep kitanya duduk, jadi saya bisa nundutan sebentar. Hanya pagi itu saya enggak jadi nundutan karena lagi-lagi nemu hal menarik.

Salah satu hal yang menarik ketika kita naik angkot adalah nguping pembicaraan orang lain. Bukannya kita kepo ngupingin obrolan orang lain, tapi yah angkot kan cuma segitu luasnya, jadinya yah kedengeran. Yang saya suka adalah ketika adanya obrolan antara supir dengan penumpang yang duduk kursi depan. Seru, apalagi kalau ngobrolin negara, beuhh.. Sotoy kadang-kadang :)

Seperti obrolan pagi itu. Sopir mengeluhkan masalah kebijakan kenaikan BBM. Katanya pemerintah sekarang gagal mensejahterakan rakyat, malah korupsi makin menggila. Masih enak jaman pemerintahan Pak Harto katanya. Pendapat supir angkot tadi diamini oleh penumpang. Penumpang yang duduk di depan itu pun berargumen. Korupsi sudah ada sejak jaman Pak Harto memang, tapi sedikit katanya, dan di jaman itu walau ada korupsi tapi jelas ada pembangunan, repelita namanya. Kalau jaman sekarang korupsinya aja yang banyak, pembangunannya tidak ada sama sekali, katanya. Sopir sependapat.


Saya menyimak sambil manggut manggut sok ngerti. Tiba-tiba, dua orang perempuan naik. Keduanya berpenampilan menor dan masing-masing menjinjing sebuah speaker kecil lengkap dengan mic-nya, pengamen rupanya. Tak lama kemudian berbincang dengan menggunakan bahasa Sunda yang kental aksennya. Tidak sengaja saya dengar isi pembicaraannya, mereka tengah membicarakan teman mereka di facebook. Obrolnya tampak seru, yang duduk disamping saya antusias menceritakan kenalan barunya sambil sesekali menunjukan halaman facebook lewat hape cina nya kepada temannya. Oh, cewek pinggiran, gumam saya dalam hati. Masih jaman nih hari gini maenan facebook? Lagian salah tuh nyebutnya juga, harusnya facebook bukan pesbuk gimana sih!? Pfttt. Gumam saya lagi dalam hati. Angkot berhenti di lampu merah, orang Bandung menyebutnya setopan. Bisa ditebak, pengamen dan pengemis langsung bekerja. Permisi aa teteh semuanya, sapa dua orang pengamen laki-laki di depan pintu angkot. Intro lagu ST 12 mengalun dari gitar salah seorang pengamen, yang satunya menyanyi. Satu jam saja ku telah bisa cintai kamuh kamuh kamuhh. Saya heran tiap nemu pengamen, apapun lagunya, gaya nyanyi sama suaranya pasti dimirip-miripin Carly, serak-serak jijay gitu. Selesai nyanyi pengamen itu menyodorkan tangannya. Dan diantara penumpang, hanya perempuan pengamen tadi yang memberinya beberapa keping recehan. Solidaritas pengamen tampaknya.

Saya sendiri tidak, bukannya tidak punya uang receh, hanya tidak mau ngasih saja. Ada alasan untuk ini. Beberapa kilo meter angkot berhenti lagi di lampu merah. Ada pengamen lagi. Berdua lagi. Tapi kali ini pengamennya sudah berumur, yang satu bawa kecapi, satu lagi biola. Setelah menyapa penumpang mereka lalu bermain. Dan gilaaa mereka keren sekali..!!!
Jadi mereka hanya memainkan instrumen tanpa vokal, entah lagu apa yang dimainkan, tapi komposisinya enak. Perpaduan kecapi dan biola yang tidak jauh beda soundnya tetep enak didengar, mereka pun pintar memainkan tempo. Tiba-tiba saya jadi ingin belajar kecapi.

Saya rogoh saku celana, saya berikan apresiasi atas pertunjukan tadi. Si perempuan pengamen pun sama, memberi beberapa keping uang. Katanya lagi dia selalu suka denger suara kecapi dan biola. Hmmm...
Tak jauh, 4 orang anak SD naik ke angkot yang kami tumpangi. Mereka ribut, biasalah bocah. Tiba-tiba salah satu perempuan pengamen tadi nyahut.
Jang, turun dimana? Ieu ku teteh ongkosan, karunya. Sabaraha ongkosna? Si perempuan pengamen tadi dengan spontan membayarkan ongkos ke empat anak SD tadi. Saya tertegun lama. Malu. Malu karena missjudgement. Maka benarlah bahwa kebesaran hati seseorang tidak bisa dilihat dari cara dia berpakaian atau bertutur kata. Perempuan pengamen tadi hatinya besar, derajatnya tinggi. Ia lebih mulia dari perempuan pesolek yang rela menghabiskan uang demi kesempurnaan penampilan. Ataupun perempuan sosialita yang tiba-tiba berjilbab ketika jadi tersangka korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar