Selasa, 09 Juni 2015

Terima Kasih Part I



Waktu SD saya tidak dekat dengan guru, ga pernah follow-followan, chatting, komen-komenan di medsos, soalnya belum ada. Saya pun ga pernah becanda sama guru, ngeledekin, atau jahilin guru, ga berani. Sekalipun gurunya baik, baik banget malah. 

Saya masih ingat nama-nama guru SD saya. Ga perlu saya sebutkan namanya. Ada guru agama yang jarinya tidak genap sepuluh dan bola matanya tidak bisa menatap lurus ke arah lawan bicaranya, juling. Kalau anak jaman sekarang mungkin nemu guru yang seperti ini langsung jadi bahan bully-an. Tapi kami dulu engga, ga berani, padahal beliau baik banget, suka bercanda pula, tapi Alhamdulillah kami ga ngelunjak.

Ada juga guru perempuan yang sudah cukup sepuh, orang Minang, suaranya kencang, suka ngomel kalau kami ga nurut atau ga hapal kali-kalian, bagi-bagian, diomelin habis-habisan. Kesel memang, tapi kami ga pernah dendam, ga pernah benci, karena beliau fair. Murid yang bisa menghapal kali-kalian, bagi-bagian, dan bisa menyelesaikan soal matematika dengan benar dipuji habis-habisan. Kami sadar betul rasa sayangnya pada kami sangat besar, bukan karena pujiannya, tapi di luar kelas beliau tunjukan itu semua, banyaklah contohnya.

Waktu kelas 5, ada guru perempuan yang masih muda, mungkin baru selesai kuliah, baru lulus, masih idealis. Beliau banyak menerapkan aturan ini itu, tegas, dan kalau marah kata-katanya pedes, karetnya 2, level 10. Saya ingat ketika saya nolak buat jadi utusan sekolah di lomba cerdas cermat di TVRI beliau menghujani saya dengan kata-kata pedas tadi, karetnya 2, level 10. Jadi waktu itu saya ini masih kelas 5, terus wali kelas saya itu menyuruh saya untuk ikut satu tim dengan anak kelas 6 sebagai perwakilan sekolah. Ga paham saya kenapa wali kelas saya itu mencalonkan saya, dan herannya guru-guru lain pun setuju untuk memasukan saya dalam tim kelas 6 tersebut, heran. Tapi saya si pendek, eh waktu itu ga pendek sih standar lah.. saya si penggugup ini panik bukan main. Bukannya apa-apa, cerdas cermatnya itu bakalan ditayangin di TV, ya walaupun TV lokal tetep aja gemeter. Saya takut, saya paling benci kalau harus tampil di depan umum, jangankan di depan kamera TV, disuruh baca teks di depan kelas aja menggigil saya mah, padahal di kelas isinya cuman 18 orang.

Jadi waktu itu saya nangis.  “gak mau” kata saya setengah teriak sambil menghempaskan tangan wali kelas saya itu. Dasar murid durhaka!
Wali kelas masih tetap membujuk saya, tapi saya tak bergeming hingga hilang kesabarannya, meluncurlah kata-kata yang sampai sekarang ga pernah saya lupakan.
“ah mental tempe!” katanya. Pelan, tapi kena, membekas.

Lalu datanglah seorang guru laki-laki muda yang nantinya jadi wali kelas saya di kelas 6. Dia ga bicara sepatah kata pun, beliau hanya mengelus kepala saya, mengajak saya duduk di tangga sekolah, lantas menyodorkan segelas aqua. Setelah saya minum dan sudah agak tenang, pak guru muda itu mengajak saya masuk, menonton kakak kelas yang berlatih untuk cerdas cermat. Dia duduk di samping saya sambil sesekali tersenyum, mengangguk-angukkan kepala, dan bertepuk tangan melihat anak didiknya berlatih. Saya masih tertunduk, ngeliatin sepatu saya yang mulai aus solnya, ga sanggup rasanya lihat wajah orang lain, apalagi wali kelas saya.

Akihirnya hari lomba cerdas cermat yang ditunggu itupun datang, kami anak kelas 5 dan 4 diajak nonton ke studio TVRI. Maklum jumlah kami cuma sedikit satu kelas paling banyak 20. Guru-guru terlihat sibuk menyiapkan anak-anak, maklum ini lomba cerdas cermat pertama kami. Ini sangat berarti buat sekolah kami yang kekurangan siswa. Dengan tampil di TV diharapkan akan banyak yang kenal dengan sekolah kami yang sederhana, yang kelasnya terletak di atas masjid, yang kalau anak laki-laki main bola di kelas, bolanya bisa nyasar dan kena kepala orang yang lagi sholat di bawah.

Pada akhirnya kami hanya juara dua. Saya kesel waktu itu karena saya tahu jawaban pertanyaan terakhir yang tidak terjawab oleh tim sekolah kami. New York, jawabannya New York, markas besar PBB itu adanya di New York. Ah, sial!

Kami semua kecewa, ada yang nangis malah, tapi tidak sedikitpun saya lihat kekecewaan di wajah guru-guru kami, mereka malah mengajak makan-makan di rumah guru perempuan yang sepuh tadi. Rumahnya dekat dengan studio TVRI di Cibaduyut. Entah kenapa setibanya disana mood kami berubah,dari yang tadinya banyak yang sedih malah ketawa-ketawa terus. Wali kelas saya ngebodor terus, nyeritain anaknya yang masih TK. Selesai makan, kepala sekolah kami bicara menyemangati, saya sudah lupa kata-katanya. Intinya dia ingin bilang bahwa dalam sebuah perlombaan itu yang diperlukan sportifitas, dan kebesaran hati menerima kekalahan. Bukan masalah menang kalahnya, tapi perjuangannya. Apa guna menjadi pemenang bila dilakukan dengan cara yang tidak jujur. Apa gunanya dapat nilai bagus bila diraih  dengan mencontek. Apa gunanya jadi orang hebat bila merugikan orang lain. Apa gunanya berilmu jika tidak dibagi, dimanfaatkan bagi kebaikan banyak orang. Apalagi yah? Saya lupa. Baiknya saya lanjutkan tulisan ini lain waktu. Ini soalnya saya mau bikin soal UAS, bikin yang susah ah biar pada puyeng tuh bocah-bocah hehehe

Oh.. guru-guru SD ku, sekarang saya mengerti bagaimana rasanya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar