Waktu SD
saya tidak dekat dengan guru, ga pernah follow-followan, chatting,
komen-komenan di medsos, soalnya belum ada. Saya pun ga pernah becanda sama
guru, ngeledekin, atau jahilin guru, ga berani. Sekalipun gurunya baik, baik
banget malah.
Saya masih ingat nama-nama guru SD saya. Ga perlu saya sebutkan
namanya. Ada guru agama yang jarinya tidak genap sepuluh dan bola matanya tidak
bisa menatap lurus ke arah lawan bicaranya, juling. Kalau anak jaman sekarang
mungkin nemu guru yang seperti ini langsung jadi bahan bully-an. Tapi kami dulu
engga, ga berani, padahal beliau baik banget, suka bercanda pula, tapi
Alhamdulillah kami ga ngelunjak.
Ada juga
guru perempuan yang sudah cukup sepuh, orang Minang, suaranya kencang, suka
ngomel kalau kami ga nurut atau ga hapal kali-kalian, bagi-bagian, diomelin
habis-habisan. Kesel memang, tapi kami ga pernah dendam, ga pernah benci,
karena beliau fair. Murid yang bisa menghapal kali-kalian, bagi-bagian, dan
bisa menyelesaikan soal matematika dengan benar dipuji habis-habisan. Kami
sadar betul rasa sayangnya pada kami sangat besar, bukan karena pujiannya, tapi
di luar kelas beliau tunjukan itu semua, banyaklah contohnya.
Waktu kelas
5, ada guru perempuan yang masih muda, mungkin baru selesai kuliah, baru lulus,
masih idealis. Beliau banyak menerapkan aturan ini itu, tegas, dan kalau marah
kata-katanya pedes, karetnya 2, level 10. Saya ingat ketika saya nolak buat
jadi utusan sekolah di lomba cerdas cermat di TVRI beliau menghujani saya
dengan kata-kata pedas tadi, karetnya 2, level 10. Jadi waktu itu saya ini
masih kelas 5, terus wali kelas saya itu menyuruh saya untuk ikut satu tim
dengan anak kelas 6 sebagai perwakilan sekolah. Ga paham saya kenapa wali kelas
saya itu mencalonkan saya, dan herannya guru-guru lain pun setuju untuk
memasukan saya dalam tim kelas 6 tersebut, heran. Tapi saya si pendek, eh waktu
itu ga pendek sih standar lah.. saya si penggugup ini panik bukan main.
Bukannya apa-apa, cerdas cermatnya itu bakalan ditayangin di TV, ya walaupun TV
lokal tetep aja gemeter. Saya takut, saya paling benci kalau harus tampil di
depan umum, jangankan di depan kamera TV, disuruh baca teks di depan kelas aja
menggigil saya mah, padahal di kelas isinya cuman 18 orang.
Jadi waktu
itu saya nangis. “gak mau” kata saya
setengah teriak sambil menghempaskan tangan wali kelas saya itu. Dasar murid
durhaka!
Wali kelas
masih tetap membujuk saya, tapi saya tak bergeming hingga hilang kesabarannya,
meluncurlah kata-kata yang sampai sekarang ga pernah saya lupakan.
“ah mental
tempe!” katanya. Pelan, tapi kena, membekas.
Lalu
datanglah seorang guru laki-laki muda yang nantinya jadi wali kelas saya di
kelas 6. Dia ga bicara sepatah kata pun, beliau hanya mengelus kepala saya,
mengajak saya duduk di tangga sekolah, lantas menyodorkan segelas aqua. Setelah
saya minum dan sudah agak tenang, pak guru muda itu mengajak saya masuk,
menonton kakak kelas yang berlatih untuk cerdas cermat. Dia duduk di samping
saya sambil sesekali tersenyum, mengangguk-angukkan kepala, dan bertepuk tangan
melihat anak didiknya berlatih. Saya masih tertunduk, ngeliatin sepatu saya
yang mulai aus solnya, ga sanggup rasanya lihat wajah orang lain, apalagi wali
kelas saya.
Akihirnya
hari lomba cerdas cermat yang ditunggu itupun datang, kami anak kelas 5 dan 4 diajak
nonton ke studio TVRI. Maklum jumlah kami cuma sedikit satu kelas paling banyak
20. Guru-guru terlihat sibuk menyiapkan anak-anak, maklum ini lomba cerdas
cermat pertama kami. Ini sangat berarti buat sekolah kami yang kekurangan
siswa. Dengan tampil di TV diharapkan akan banyak yang kenal dengan sekolah
kami yang sederhana, yang kelasnya terletak di atas masjid, yang kalau anak
laki-laki main bola di kelas, bolanya
bisa nyasar dan kena kepala orang yang lagi sholat di bawah.
Pada
akhirnya kami hanya juara dua. Saya kesel waktu itu karena saya tahu
jawaban pertanyaan terakhir yang tidak terjawab oleh tim sekolah kami. New
York, jawabannya New York, markas besar PBB itu adanya di New York. Ah, sial!
Kami semua
kecewa, ada yang nangis malah, tapi tidak sedikitpun saya lihat kekecewaan di
wajah guru-guru kami, mereka malah mengajak makan-makan di rumah guru perempuan
yang sepuh tadi. Rumahnya dekat dengan studio TVRI di Cibaduyut. Entah kenapa
setibanya disana mood kami berubah,dari yang tadinya banyak yang sedih malah
ketawa-ketawa terus. Wali kelas saya ngebodor terus, nyeritain anaknya yang
masih TK. Selesai makan, kepala sekolah kami bicara menyemangati, saya sudah
lupa kata-katanya. Intinya dia ingin bilang bahwa dalam sebuah perlombaan itu
yang diperlukan sportifitas, dan kebesaran hati menerima kekalahan. Bukan
masalah menang kalahnya, tapi perjuangannya. Apa guna menjadi pemenang bila
dilakukan dengan cara yang tidak jujur. Apa gunanya dapat nilai bagus bila
diraih dengan mencontek. Apa gunanya
jadi orang hebat bila merugikan orang lain. Apa gunanya berilmu jika tidak
dibagi, dimanfaatkan bagi kebaikan banyak orang. Apalagi yah? Saya lupa.
Baiknya saya lanjutkan tulisan ini lain waktu. Ini soalnya saya mau bikin soal UAS, bikin yang susah ah biar pada puyeng tuh bocah-bocah hehehe
Oh.. guru-guru
SD ku, sekarang saya mengerti bagaimana rasanya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar