Selasa, 05 Juni 2012

Life Keeps On Turning

Tidak terasa gelaran euro 2012 sebentar lagi bisa kita nikmati secara gratisan. Sama seperti empat tahun lalu, masih di stasiun tv yang sama pula.  Masih ingat dengan jelas bagaimana Torres mencetak gol tunggal kemenangan Spanyol empat tahun lalu. Serasa baru kemarin, ternyata 4-5 tahun itu sebentar. 2008 euro, Spanyol juaranya,  setahun berikutnya pemilu SBY juaranya,  terus piala dunia 2010 Spanyol lagi juara. Tahun ini euro lagi, belum tahu siapa yang juara. 2014 pemilu, tapi pasti bukan SBY lagi juaranya, terus piala dunia lagi, euro lagi, pemilu lagi, begitu terus tidak terasa tahu-tahu usia bertambah.

Tahun demi tahun terlewat, entah apa yang kita tinggalkan disana, prestasi apa yang kita buat, sejarah apa yang kita ukir. Bagi saya 2008 adalah tahun yang berkesan. Di tahun inilah saya diberi gelar sarjana. Sebuah gelar yang tidak pernah saya impikan sebelumnya. Sebagai siswa ‘sederhana’, baik dari materi maupun kapasitas otak, kuliah adalah sebuah kemewahan bagi saya. Alhamdulillah berkat rahmat serta ijin yang maha kuasa dan didorong dengan keinginan luhur, saya mendapatkannya.


Masa perkuliahan yang saya lewati dengan mulus ternyata tak seirama dengan apa yang saya alami setelahnya. Pencarian pekerjaan. Iya, setelah lulus dipertengahan Maret 2008, saya pun terkatung-katung selama hampir 10 bulan. Jobless!!!
Dengan hanya mengandalkan ijazah sarjana kependidikan, nilai IPK yang lumayan, serta absurditas mimpi, maka saya melamar ke perusahaan-perusahaan besar. Jujur, saat itu keinginan untuk berprofesi sebagai guru sesuai dengan latar belakang pendidikan saya begitu rendah. Alasannya sederhana, saya tidak cukup pantas untuk menjadi pribadi yang di gugu dan ditiru.

Namun, sekeras apapun penolakan saya ternyata Sang Maha Rencana sudah menyiapkan sesuatu yang besar buat saya. Ketika saya nyaris putus asa akibat susahnya mencari pekerjaan di kota besar. Ketika nyaris saya mempertanyakan keadilan Tuhan karena orang lain yang tidak berjuang dengan keras, yang kelihatannya hidupnya hanya bersenang-senang, begitu bahagia, serba mudah, yah..begitu lah..tapi begitu mudahnya pula mendapatkan pekerjaan. Ada kesan iri dan sombong dalam kalimat saya tadi, tapi memang itulah yang saya rasakan waktu itu.

Maka Tuhan memberikan jawaban lewat saudara saya. “ada lowongan dikoran buat guru Pkn SD” katanya. Berbekal informasi itulah saya melayangkan lamaran, tak lama saya pun dipanggil untuk tes tertulis di Salman ITB. Menurut penguji, nantinya peserta dengan hasil tes tertinggi akan dipanggil untuk micro teaching di sekolah. Saya tidak berharap banyak, tetapi ternyata saya termasuk peserta yang dipanggil untuk micro teaching.

Adalah sebuah madrasah ibtidaiyah yang berlokasi di seputaran Bandung Timur tempat yang saya tuju. Membutuhkan waktu sekitar 90 menit untuk sampai disana, itupun dengan 2 kali menggunakan angkot, cukup jauh dari tempat tinggal saya memang. Sekolahnya sendiri cukup nyaman, berada di tengah perumahan penduduk menengah ke atas. Proses micro teaching dilakukan di kelas tiga. Keringat dingin mengalir deras dari pelipis. Maklum itu pengalaman pertama, sebagai orang yang memiliki sifat pemalu akut, dan agak insecure, maka berbicara di depan umum itu adalah sebuah  tantangan, a mountain to climb. But I did well eventually.

Pekerjaan itu akhirnya saya dapatkan, ibu saya pun merestui. ‘ga apa-apa ngajar di SD juga, pengalaman’ katanya menyemangati. Maka saat itu Februari 2009 I got my first real job. Mengajar.

It was tough at the beginning, namun saya bertahan. Perhatian dan senyuman tulus anak-anak melumerkan gunung es dalam diri saya yang bernama angkuh. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat mereka tertawa karena joke yang saya lemparkan, ketika mereka antusias terhadap permainan yang saya buat, atau bahkan ketika mereka kesal karena saya ceramahi. It’s priceless!!. Pertemuan saya dengan orang-orang hebat disana pun membentuk pribadi saya, mendewasakan. Saya belajar banyak tentang agama langsung dari orang-orang yang mendalaminya lebih dari saya. Saya menjadi semakin mengerti akan indahnya hidup dalam perbedaan. Tidak hanya seperti yang dituliskan dalam buku-buku paket usang tentang toleransi dan tenggang rasa, but in a real life, practically.  Sebuah hadiah yang besar diberikan Tuhan untuk saya. Inspirasi, pengalaman hidup, etos kerja serta banyak hal lain adalah bahan bagi saya untuk belajar. Hebatnya lagi itu semua tidak selalu datang dari rekan-rekan sesama pengajar, tapi dari anak-anak. Yes, that little fellas taught me a lesson, not the otherwise..hehehe…

Sifat alamiah manusia adalah selalu merasa tidak puas atas apa yang sudah ia dapatkan. Saya pun mengalami hal yang sama tentu saja. Maka di setiap akhir tahun ajaran saya masih suka mencari informasi lowongan kerja. Harapan nya dua, menambah pengalaman dan penghasilan. Sampai akahirnya dipenghujung  akhir 2010 saya diterima di salah satu bimbel ternama di kota Bandung. Tuhan belum mengabulkan permohonan saya untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil, tapi memberikan tanggung jawab lain buat saya. Sejak itu pengalaman, pengetahuan serta penghasilan saya bertambah. Alhamdulillah. Kedua nya bisa berjalan dengan baik seperti yang dinginkan, itu yang saya rasakan ketika itu. Saya benar-benar menikmatinya saat itu.

Diawal tahun 2012, tawaran lain datang menghampiri. Salah seorang teman saya yang hendak diboyong suaminya ke luar kota menawarkan untuk menggantikannya mengajar di sebuah SMK. Tanpa pikir panjang saya pun mengiyakan.  Saru memang waktu itu antara percaya diri mengambil sebuah kesempatan atau serakah. Bahasa Sundanya ‘ngarawu ku siku’. Akibatnya bisa ditebak. Semrawut, ketiganya nyaris terbengkalai.

Keputusan harus diambil. Maka setelah berpikir masak-masak, saya putuskan untuk melepas 2 diantaranya. Tanpa pertimbangan yang berarti maka saya mengundurkan diri dari SMK itu. Ini murni karena saya tidak mendapatkan ‘sesuatu’ disana, tidak jodoh. Dan entah apa yang sebenarnya saya pikirkan ketika saya mengajukan pengunduran diri dari MI tempat kerja pertama saya. Seriously, what was I thinking..!!! Karena 3 tahun bukan waktu yang sebentar untuk saya habiskan disuatu tempat. Kalau saya tidak nyaman, mungkin tidak akan selama itu saya disana. Lantas apakah ini sebuah keputusan emosional? Iya. Karena memang berat memutuskan untuk berhenti disana, after all these year! Bagai mana mungkin saya tidak terlibat perasaan emosional dengan orang-orang disana. Tidak, karena ini bukan disebabkan adanya masalah pribadi atau karena saya sudah mendapatkan yang lebih baik, bukan pula. Ini adalah murni bentuk tanggungjawab moral saya. Saya datang dengan baik-baik maka saya pun ingin pergi dengan baik pula.

Keegoisan saya untuk mencapai mimpi-mimpi lain yang belum terwujud juga punya andil besar dalam keputusan yang saya buat ini. Saya hingga kini masih kurang nyaman bila disebut seorang ‘guru’, lebih senang disebut pengajar saja. Iya, karena selama ini yang saya rasakan saya hanya mentrasfer informasi saja tanpa bisa menunjukan sikap yang baik buat mereka. Seorang guru adalah pendidik yang mampu menginspirasi, mengubah perilaku lewat contoh riil yang ia tunjukan, an example to follow. Sementara pengajar hanyalah transformator, yang mau mengajar apabila dibayar, yang masih menggerutu ketika melihat slip gajinya, yang hanya bisa menyuruh tanpa bisa mencontohkan. sudahlah. Mimpi terbesar saya ternyata simple, saya ingin menulis, membuat lagu, bahkan kalau bisa membuat film, intinya adalah berkarya. Hanya pekerjaan ‘mengajar’ ini tidak akan pernah saya lepaskan. Walaupun mata pelajaran saya ini menurut sebagian orang tidak sepenting mata pelajaran lainnya. Tapi niat saya mengajar adalah sebagai tanda balas budi terhadap tanah air yang sudah saya tumpangi selama ini, saya belum bisa melakukan hal lain selain itu saat ini.

Maka setelah ini, apa yang akan terjadi, terjadilah.  Akan jadi apa saya nanti? Siapa juara piala eropa 2012? Presiden pilihan rakyat di 2014? Kita tidak pernah tahu, expect the unexpected. Hidup bekerja dengan cara yang unik, dan setiap orang punya ending nya masing-masing. Life keeps on turning.

Saya akhiri tulisan ini dengan penggalan lirik The Smiths 'Please, Please, Please, Let Me Get What I Want

Good times for a change
See, the luck I've had
Can make a good man
Turn bad

So please please please

Let me, let me, let me
Let me get what I want
This time

Haven't had a dream in a long time

See, the life I've had
Can make a good man bad

So for once in my life

Let me get what I want
Lord knows, it would be the first time
Lord knows, it would be the first time

Tidak ada komentar:

Posting Komentar